Coretan Redaksi: Hedonisme Pejabat dan Teladan Menteri Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin Prawiranegara (dok kemenkeu)

MAKASSAR, – ADA PERTANYAAN yang kita anggap penting dan harus dijawab oleh para pejabat negara. Ini terkait karena beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh berbagai aksi pamer kekayaan (flexing) dari beberapa pejabat negara yang membuat kita semua merasa demikian prihatin.


Pertanyaan ini menyembul karena kasus semacam itu muncul bergelombang dan seakan-akan memang sengaja mengejek akal sehat kita.


Ambil contoh, mencuatnya kasus seorang pejabat eselon III Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun yang memiliki harta kekayaan demikian fantastis yakni Rp56,1 miliar pada 2021. Padahal gaji pokoknya ditambah dengan tunjangan kinerjanya hanyalah sekitar Rp 36-46 juta per bulan.

Begitu pula dengan aksi pamer gaya hedonis yang dilakukan pejabat di Kementerian Keuangan yang lain seperti Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto.

Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono yang memiliki harta fantastis senilai Rp 13,7 Miliar bendasarkan laporan LHKPN tahun 2022.

Namun yang paling membuat kita tercengang adalah ketika Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp 349 Triliun transaksi janggal dan diduga merupakan upaya pencucian uang di Kementerian Keuangan. Bahkan disebutkan ada sekitar 460 pegawai Kemenkeu terlibat dalam transaksi janggal tersebut.

Tidak berhenti di sana, Sekretariat Nasional FITRA tahun 2022 juga mencatat, ada 39 pegawai eselon I dan II di Kementerian Keuangan yang merangkap sebagai komisaris perusahaan milik negara atau BUMN.

Lantas pertanyaan kita sebagai warga, sudah sedemikian parahkah mentalitas beberapa pejabat kita, khususnya di Kementerian Keuangan? Padahal bisa dikatakan di sanalah tempat uang rakyat dititipkan untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat?

BACA JUGA  Coretan Redaksi: Rekonstruksi Tujuan Organisasi

Lalu, apakah Menteri Sri Mulyani tidak mengetahui sepak terjang anak buahnya? Apakah selama ini Irjen Kemenkeu sebagai pengawas internal tertidur? Atau jangan-jangan mereka semua justru masuk jejaring tentakel persekongkolan berjamaah tersebut? Semoga tidak.

Memang, kita tak ingin berpraduga terlalu jauh. Kita pun juga tak hendak menuding siapa pun yang pantas bertanggungjawab atas kejadian memalukan ini. Namun ada kalimat para orang tua kita dulu yang pantas direnungkan: “Seekor ikan selalu mengalami pembusukan mulai dari kepalanya”.

Lalu di manakah tanggungjawab pemimpin ketika mengetahui institusi yang dia pimpin malah semakin membusuk. Kapal yang dia nahkodai telah bocor dan hampir tenggelam? Dibuat keropos justru oleh para anak buahnya?

Mungkin terlalu naif memimpikan bila para pejabat di negeri kita punya nyali untuk mengambil seluruh beban tanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Kita tak punya tradisi seperti bangsa lain yang dengan berani dan punya rasa malu merasa gagal mengembang amanah dengan menyatakan mundur.

Kita tidak punya sosok seperti Menteri Transportasi Yunani Kostas Karamanlis yang mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk pertangungjawabannya atas tabrakan maut kereta api yang menewaskan sedikitnya 43 orang di akhir Februari lalu. Kita juga tak punya Minoru Terada, Menteri Dalam Negeri Jepang yang mengundurkan diri pada 2022 lalu atau Menteri Revitalisasi Ekonomi Daishiro Yamagiwa juga mengundurkan diri dan Menteri Kehakiman Yasuhiro Hanashi yang mundur pada pertengahan November lalu karena menilai dirinya tak becus menjalankan amanah.

Demikian juga, kita tak punya Suella Braverman, Menteri Dalam Negeri Inggris mengundurkan diri di 2022 lalu karena hanya salah mengirim e-mail. Menteri Keuangan China Lou Jiwei yang mengundurkan diri di 2016 karena perbedaan pandangan terkait utang negara. Kita tak punya sosok-sosok seperti mereka.

BACA JUGA  Coretan Redaksi: Rekonstruksi Tujuan Organisasi

Lalu apakah bangsa kita memang tak memiliki pejabat seperti itu? Ternyata ada. Kita pernah punya sosok pejabat tinggi yang memiliki integritas menjulang dan hidup dalam kesederhanaan. Dia adalah Syafruddin Prawiranegara. Mantan Menteri Keuangan dan juga Gubernur Bank Indonesia yang menjabat di era 1950-an.

Dengan dua jabatan yang demikian strategis ini, bisa dibayangkan bagaimana besarnya godaan yang datang padanya. Tapi tahukah kita, Menteri Syafruddin bukan hanya hidup demikian sederhana, tapi nyaris hidup dalam kemiskinan.

Bayangkan, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, istrinya harus berjualan gorengan. Suatu ketika Menteri Syafruddin ditanya mengapa dia hidup demikian sederhana dengan jabatan yang demikian mencorong. Dia dengan enteng menjawab: “Saya tak ingin mengambil hak rakyat dan tidak mau memberi makan keluarga saya dari hasil yang saya ragu apa halal atau tidak.

Di tengah kondisi bangsa kita yang karut marut seperti saat ini. Di tengah banyaknya para pejabat kita yang telah menjual martabatnya dengan hidup bermewah-mewah dalam lautan kemiskan rakyat. Sosok seperti Menteri Syafruddin menjadikan kita sedikit optimis bila bangsa ini pernah melahirkan sosok pejabat seperti dia. Semoga negeri ini akan melahirkan sosok Syafruddin-Syahruddin lain. Semoga. [Redaksi]

‘FooterBanner’

Comment