Smartcitymakassar.com – PEMILIHAN Presiden (Pilpres) masih terbilang jauh, namun intensitas dinamika partai politik (parpol) dalam melakukan berbagai manuver semakin menguasai ‘panggung’ opini publik di media massa.
Dalam gaya dan langgam iramanya, manuver petinggi parpol ini bisa dikatakan nyaris serupa. Mereka saling bertemu, memasang wajah sumringah, dan mengemukakan berbagai potensi untuk membentuk koalisi, poros atau kerjasama politik.
Yang menarik dari semua itu, kita tak lagi bisa membedakan apa prinsip-prinsip mendasar dari kehadiran sebuah partai politik, yakni ideologi. Semuanya campur aduk dalam ‘adonan‘ pragmatisme. Dalam hal ini, kesibukan dan keriuhan yang nampak adalah sejenis motif ‘pemburuan’ kekuasan an sich.
Dalam jalur perkembangan sejarahnya, memang parpol kita semakin hari semakin tak lagi menyematkan basis ideologi dalam segala praktik aktifitasnya. Kalau pun masih ada –seperti yang pernah dikemukakan pakar antropologi budaya Clifford Geertz sebagai politik aliran– hal tersebut hanya menjadi pajangan visi misi atau sekadar jargon untuk jualan politik. Namun dalam ruang praktis, semuanya lebur dalam satu napas: pragmatisme kekuasaan.
Di era ‘dekmokrasi otoritarian’ orde baru, ada jargon politik yang sering digaungkan kala mendekati pemilihan umum yakni “Pemilu adalah Pesta Rakyat”, walau kita tahu jargon di masa kepemimpinan otoriter Soeharto itu sekadar pemanis bibir, namun setidaknya masih ada kata rakyat di sana.
Namun di era ‘demokrasi oligarki’ saat ini, barangkali lebih pas bila menyebutkan bahwa pemilu adalah Pesta Parpol. Dalam takaran model demokrasi Indonesia terkini, hal ini bisa dikatakan sebuah realitas yang tak bisa dipungkiri. Pertama, vitalitas peran parpol hanya terlihat saat jelang pemilu karena undang-undang mensyaratkan bahwa parpol adalah ‘kendaraan politik’ untuk proses pencapresan. Memang oleh undang-undang dimungkinkan masuk melalui jalur independen, namun hal itu cukup bisa disebut jalur –meniru kata Asmuni Srimulat– suatu ‘hil yang mustahal’.
Kedua, karena parpol sangat diperlukan dalam kontestasi pemilu untuk menduduki kursi jabatan, maka parpol juga bergairah dalam melakukan berbagai manuver yang galibnya hanya bermuara pada proses negosiasi ‘siapa mendapat apa’ dalam kekuasaan serta tawar-menawar berapa besar ‘mahar’ politik yang di lelang oleh parpol.
Di mana kepentingan rakyat di sana? Pertanyaan ini tidak relevan bagi parpol zaman now ini. Rakyat itu nantinya adalah urusan personal calon presiden yang akan berjuang lagi memperebutkan suara rakyat. Dengan cara dan model apa pun. [Redaksi]
1 comment
Comment