(Opini) MayDay, Sebuah Sejarah Tentang Harapan

Ket. Foto: Ilustrasi MayDay/Ist

Oleh: Muh. Saifullah*

Smartcitymakassar.com – HARI BURUH sedunia atau biasa dikenal dengan sebutan Mayday memang memiliki daya pesona tersendiri bagi seluruh kaum buruh dan umumnya para pekerja di dunia.

Sejak ditetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh sedunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Union, peringatan Mayday ini memperoleh momentumnya sekaligus terus memberi spirit tak henti bagi peningkatan kualitas hidup para buruh sedunia.

Sejarah lahirnya Mayday memang jauh membentang sejak awal abad ke 19 sejak tumbuhnya era kapitalisme industri  di Eropa dan Amerika. Semua itu berangkat dari rentetan perjuangan kelas pekerja untuk mampu turut menjadi penentu dalam kendali ekonomi-politis dan hak industrial.

Era kapitalisme industri yang tumbuh saat itu menjadikan kondisi kelas pekerja menjadi sangat tidak menusiawi. Upah yang begitu minim, kondisi kerja yang sangat buruk serta jam kerja yang demikian panjang kemudian membangkitkan perlawanan kaum pekerja ini.

Kondisi kelas pekerja yang sangat tidak manusiawi ini dengan sangat baik digambarkan dalam novel-novel Charles Dickens. Suasana muram dan menyedihkan tergambar jelas di sana. Sebuah “peradaban gelap” bagi kemanusiaan terpancar di sini. Dengan demikian, perlawananpun dimulai. Pemogokan pertama kelas pekerja di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers dan menjadikan para pemimpinnya sebagai pesakitan di meja pengadilan. Namun dari kejadian inilah kemudian terungkap bahwa kelas pekerja pada zaman itu bekerja dari 19 sampai 20 jam sehari. Sejak itu, gelombang tuntutan untuk mengurangi jumlah jam kerja menjadi agenda bersama seluruh kelas pekerja di Amerika Serikat.

Merawat Harapan

Penetapan 1 Mei sebagai momentum peringatan hari buruh sedunia tidak terlepas dari kejadian besar serta memilukan yang dikenal dengan nama peristiwa Haymarket.  Pada tanggal 1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh  di Amerika Serikat turun ke jalan mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari.  Aksi ini berlangsung 4 hari sejak tanggal 1 Mei tersebut. Peristiwa besar dan memilukan terjadi 4 hari kemudian ketika para demonstran melakukan pawai  dan aparat kepolisian Amerika Serikat bersikap represif dengan menembaki para pengunjuk rasa. Ratusan jiwa korban dari para demonstran melayang  dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati.

Dari peristiwa inilah para kelas pekerja sedunia mulai memahami bagaimana tuntutan atas kelayakan hidup dan kondisi kerja yang manusiawi memang harus senantiasa diperjuangkan. Peristiwa Haymarket ini juga menggarisbawahi bahwa dalam setiap proses perjuangan, sangat diperlukan pengorganisasian yang baik, strategi dan taktik yang mumpuni untuk memberi “penekanan” pada pihak-pihak yang dianggap memiliki kepentingan agar status quo tetap berlangsung. Dengan kata lain, peletakan perjuangan itu memiliki basis kuat untuk ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan nasib penghidupan mereka.

Menepis Paradigma Buruk

Sejak Mayday diperingati sebagai hari buruh sedunia, berbagai peristiwa menandai dinamika perjuangan kelas pekerja ini. Benturan kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam ruang kapitalisme-industri masih tetap berlangsung. Namun “arena pertarungan” ini semakin bervariasi dalam cakupan dimensi yang lebih luas. Bila di masa-masa awal bergulirnya kapitalisme-industri abad 19 di Eropa dan Amerika Serikat, perjuangan kaum buruh lebih berkisar pada tuntutan perbaikan jam kerja, maka pada saat ini, tuntutan perjuangan buruh lebih bercorak kontekstual dan berskala lokal.

Hal ini memang disebabkan karena tingkat kesejahteraan dan ruang aktualisasi diri para pekerja ini semakin lama semakin bervariatif antara berbagai negara, kota serta perusahaan tempat mereka bekerja. Seiring laju waktu dan pertumbuhan teknologi yang demikian pesat, setiap negara, kota maupun perusahaan memiliki cara tersendiri dalam mempertemukan berbagai kepentingan yang terjadi di sekitar persoalan industrial ini. Dengan demikian, isu-isu yang menjadi titik tekan perjuangan kaum buruh juga mengalami corak beragam.

Namun barangkali yang masih mempertautkan seluruh energi perjuangan kaum buruh sedunia dalam Mayday adalah perjuangan “menepis paradigma buruk”.  Sejarah panjang perjuangan kaum buruh memang tidak terlepas dari sejarah panjang “pertarungan” ideologis yang berkembang di dunia. Bahkan dalam takaran tertentu, image dan persepsi yang terbentuk menjadi demikian sarat dengan warna ideologis. Sehingga yang terjadi adalah sebuah paradigma dengan nilai realitas yang demikian bias.

Inilah salah satu penyebab mengapa peringatan Mayday dan perjuangan kaum buruh kerap dicurigai, bahkan dalam sistem rezim tertentu menjadi sebuah gerakan subversif terhadap kekuasaan yang ada. Ini telah menjadi fakta sejarah yang mau-tak mau kita harus jadikan rujukan bila ingin meletakkan perjuangan kaum buruh pada konteks kekinian. Di Indonesia, kecurigaan terhadap perjuangan kaum buruh juga telah menjadi sebuah pengalaman yang tidak mengenakkan  dan menjadi fakta sejarah.

Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, Mayday atau Hari Buruh sedunia tidak lagi diperingati di Indonesia.  Semua itu disebabkan karena  gerakan kaum buruh dihubungkan dan dijustifikasi  dengan paham ideologi Komunisme yang menjadi musuh besar pemerintahan saat itu. Keterkaitan antara gerakan buruh dengan paham Komunisme memang menjadi sebuah faktor penghambat yang cukup besar bagi perjuangan kaum buruh zaman itu. Tidak mengherankan, bila di era Orde Baru ini , aksi untuk memperingati  Mayday masuk dalam kategori aksi makar karena dikonotasikan  dengan ideologi Komunis. Walaupun sesungguhnya konotasi ini sangatlah tidak tepat dan penuh bias.

Perjuangan buruh adalah perjuangan tentang kemanusiaan serta perjuangan tentang kelayakan hidup yang mengharapakan hasil yang mereka peroleh sebanding dengan kerja yang telah mereka lakukan.

Namun bagaimanapun, pertarungan persepsi dan paradigm ini menyebabkan perjuangan kaum buruh mengalami pasang surut yang penuh dengan berbagai “penyesatan” dalam keberadaannya. Paradigma negatif bisa menjadi dominan bila apa yang menjadi tujuan perjuangannya ditelikung oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek oleh kelompok-kelompok avonturir politik.

Tantangan terberat dari perjuangan kaum buruh saat ini memang berkisar pada bagaimana mereka mulai membuka diri pada kelompok sosial lain serta menepis berbagai persepsi buruk di sekitar aksi perjuangan mereka.

Sejarah perjuangan kaum buruh dan pekerja, bagaimanapun merupakan sejarah tentang sebuah harapan untuk memperoleh hidup yang lebih manusiawi. Sesungguhnya, harapan ini sangat sederhana dan memang menjadi bagian yang melekat pada peri-kehidupan manusia. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam sila ke 5 Pancasila dengan tegas menggariskan hal tersebut. Yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan tujuan perjuangan ini menjadi bagian dari gelombang frekuensi yang sama dari  seluruh nilai-nilai kemanusiaan kita. Sehingga aksi dan perjuangan kaum buruh dan pekerja sedunia ini juga menjadi aksi dan perjuangan manusia untuk hidup lebih layak dan bahagia di muka bumi ini. (*penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik)

Lihat Semua

Share

Berita lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Comment

Lihat Semua