Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik langkah pemerintah yang menawarkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam Belt and Road Initiative (BRI) asal China. Langkah itu dianggap bertentangan dengan janji pemerintah yang ingin mengedepankan proyek ramah lingkungan. Manajer Kampanye Iklim dan Keadilan Ekonomi Walhi Yuyun Harmono mengutip ucapan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Padjaitan kala menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRI di Beijing, China. Saat itu, Luhut mengatakan bahwa investor China harus bersifat ramah lingkungan. Ketentuan itu menjadi satu dari lima syarat yang harus dipenuhi investor China tanpa terkecuali.
Namun faktanya, lanjut Yuyun, pemerintah malah menawarkan empat PLTU di dalam KTT tersebut, yakni PLTU Celukan Bawang di Bali, PLTU mulut tambang Kalselteng 3, PLTU mulut tambang Kalselteng 4, dan PLTU berkapasitas 1.000 Megawatt di Kalimantan Utara. Dalam hal ini, Walhi menyebut pemerintah munafik ketika menawarkan proyek tersebut.
“Kami menilai batu bara adalah energi yang kotor, sehingga sejatinya pemerintah sendiri tak memiliki sensitivitas terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup. Kami menilai ini adalah langkah yang hipokrit,” ujar Yuyun, Senin (29/4/2019).
Yuyun mengaku heran dengan langkah pemerintah Indonesia, mengingat sebagian besar negara lain menyadari bahwa pembangkit batu bara harus dikurangi di masa depan. Ia mengutip laporan Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) yang menyebut bahwa porsi PLTU terhadap penyediaan listrik dunia harus turun dari 53 persen di 2018 menjadi 17 persen di 2050 mendatang.
Kemudian, Indonesia pun sudah menyepakati Persetujuan Paris yang mendukung pengurangan emisi karbon.
“Negara di dunia ini sesegera mungkin beralih dari energi kotor, namun kenapa BRI tidak sejalan dengan kajian para scientist?” jelas dia.
Proyek pembangkit yang ditawarkan dalam BRI memang ada pula yang berbentuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT), yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sembakung dan PLTA Kayan di Kalimantan Utara. Namun, Walhi sangsi bahwa itu akan dieksekusi dengan baik mengingat rekam jejak pembangunan pembangkit China di Indonesia tak berjalan mulus. Yuyun mencontohkan pembangunan PLTA Batang Toru yang dilakukan oleh perusahaan patungan China-Indonesia, PT North Sumatera Hydrio Energy yang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sumatera Utara lantaran diduga memalsukan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Kemudian, Walhi juga telah melakukan survey ke Bulungan dalam meminta tanggapan masyarakat setempat terkait pembangunan PLTA yang ditawarkan ke KTT BRI. Namun, 80 persen dari responden tak mengetahui rencana pembangunan itu, sehingga ada potensi konflik sosial jika proyek tersebut dilanjutkan. Sebagai contoh, masalah pembebasan lahan yang mungkin akan menggusur sebagian pemukiman warga.
“Harusnya pembangunan tidak hanya orientasi proyek besar, tapi dorong pemenuhan energi yang berkeadilan. Kalau tidak ada sosialisasi yang mumpuni masyarakat hanya akan menjadi korban,” terang Yuyun. (Aan/IP)
Comment